Cerita Rakyat/PantunKisah Masyarakat

YULITA GADIS BURUK MUKA

Di sebuah kampung di Pulau Bangka, tinggallah satu keluarga orang kampung sering memanggilnya dengan sebutan keluarga Pak Yatim Keadaan keluarga Pak Yatim sangatlah miskin Pak Yatim mempunyai seorang istri dan seorang anak perempuan bernama Yulita. Pak Yatim adalah seorang petani miskin, di antara keluarga dan tetangganya merekalah yang paling miskin Meskipun miskin mereka hidup rukun, saling menghargai, saling menyayangi satu sama lainnya. Pak Yatim orangnya ramah demikian pula isteri dan anaknya, mereka selalu sopan dan santun terhadap siapa saja.

Yulita atau sering dipanggil orang di kampung dengan nama ‘Ita’ adalah anak Pak Yatim semata wayang. Saat ini usianya telah meningkat remaja, akan tetapi nasib si Ita sangatlah malang, wajahnya penuh bercak-bercak atau noda bintik-bintik hitam. Karena wajahnya demikian maka ia selalu murung seorang diri. Jarang ke luar rumah dan hatinya selalu sedih memikirkan nasib yang malang. Yulita selalu berada di kamar dan jarang ke luar rumah untuk bermain dengan teman teman sebayanya di kampung. Jangankan keluar rumah, keluar dari kamar pun Yulita sangat jarang. Paling-paling hanya keluar bila ia ingin mandi atau makan. Meskipun Yulita jarang keluar rumah, ia mempunyai dua orang sahabat yang selalu setia datang ke rumahnya. Kalau bertemu mereka bercakap-cakap dan bersenda gurau bersama. Pada saat seperti ini, Yulita nampaknya sangat terhibur. Segala kesedihan hilang rasanya. Namun bila kedua sahabatnya pulang, perasaannya kembali menjadi sedih.

Rumah tempat tinggal keluarga Pak Yatim, ayah Yulita, terletak di antara dua buah rumah tetangga yang sangat besar dan bagus karena pemiliknya sangat berkecukupan. Kondisi seperti itu sangat bertolak belakang dengan rumah Pak Yatim Rumahnya sangat kecil, berdinding kulit kayu, atapnya dari daun rumbia.

Setiap pagi Pak Yatim dan isterinya pergi ke kebun untuk membersihkan kebunnya yang ditanami dengan ubi keladi dan bermacam sayuran. Di samping itu kadang-kadang Pak Yatim ngelangkung di kebun milik tetangganya untuk mengambil upah. Penghasilan yang diperoleh dari ngelangkung lumayan untuk menyambung hidup dua atau sampai tiga hari ke depan. Begitulah kehidupan keluarga Pak Yatim dari hari ke hari, dari bulan ke bulan dan sepanjang tahun Walaupun demikian mereka tetap hidup rukun, penuh kasih sayang satu sama lainnya. Walaupun kehidupan sehari-hari sangat pas pasan, mereka selalu bersyukur kepada Tuhan Maha Pencipta yang telah memberikan karunia seperti itu kepada keluarganya.

Suatu hari, kebetulan Pak Yatim dan isterinya telah pulang dari ngelangkung di kebun tetangga, Yulita, anak gadisnya, pamit akan pergi ke rumah bibinya. Rumah bibinya berada di kampung sebelah, bertetangga dengan kampung Yulita. Bibi Yulita adalah adik kandung Pak Yatim. Ia sangat sayang kepada Yulita. Bibi Yulita mempunyai seorang puteri bernama Romlah yang usianya sebaya dengan Yulita. Romlah termasuk gadis yang beruntung, di samping orangtuanya tergolong orang berada, wajahnya pun tergolong cantik. Romlah sama seperti ibunya sangat menyayangi Yulita. Di samping dua orang temannya, Romlah lah yang selalu menghibur Yulita.

Di tengah perjalanan, Yulita berpapasan dengan serombongan bujang dan dayang kampungnya. Melihat muka. Yulita yang buruk mereka lalu mengejek “Hai! Dayang muke buruk, nek jalan kemane?” (Hai! Gadis muka jelek mau jalan kemana?), sapa mereka dengan bibir mencibir.

Mereka mengolok dan mencaci-maki, kemudian lanjutnya, “Hai..! Si muke buruk, sape nek, kek ka, ade yang nek, tapi nek muntah rase e, tak usah ye, ngape ka keluar rumah? Bikin orang jijik, mending ka diem di rumah bai, sambil mengelus-elus muka ka yang jiat tu” (Hai…! Si muka jelek, siapa yang mau, sama kamu, ada yang mau, tapi mau muntah rasanya, tidak usah ya, mengapa kamu ke luar rumah, bikin orang jijik mending kamu diam di rumah saja, sambil mengelus-elus muka kamu yang jelek itu), Cih…  Seraya mereka serempak meludah di depan Yulita. Mendapat perlakuan seperti itu Yulita diam saja, tidak menoleh ke kiri maupun ke kanan, akan tetapi dalam hatinya terasa mendidih dan pedih perih seolah-olah dipaku dan disayat sembilu.

Tak berapa lama sampailah Yulita di rumah bibinya. Rumah bibinya sangat bagus dan besar serta memiliki halaman yang luas “Assalamualaikum…”, sapa Yulita sambil mengetuk pintu. “Walaikumsalam!”, jawab seseorang yang ternyata bibinya, “O Ita, ayo masuk”, kata bibinya.

Yulita masuk ke dalam rumah dan di dalam ikut keluar menemui, saudara sepupunya, Romlah. Setelah mereka ngobrol sebentar, bibinya berkata, “Ikak bedue disinilah ok, ngobrol lah, bibi masih ade gawe di dapuk” (Kalian berdua disini saja ya, ngobrol saja, bibi masih ada pekerjaan di dapur).

Lalu dijawab oleh Yulita dan Romlah, O.. aoklah Kemudian sebelum bibinya masuk ke dapur, Yulita bertanya kepada bibinya, “O ya bi, dimane paman, kok, dak keliet?” (o… ya bibi, dimana paman, tidak kelihatan?)

Lalu dijawab oleh bibinya, “Pamanmu tengah mandi dibelakang rencana e die nek ke mesjid kelak (Pamanmu lagi mandi di belakang rencananya dia nanti mau ke mesjid). Kemudian bibinya juga bertanya kepada Yulita, “Ape kabar pak, kek mak ka?” (Apa kabar bapak sama ibu kamu?) Lalu dijawab Yulita, “Mereka sehat-sehat saja bi, tadi waktu saya berangkat kesini mereka baru pulang dari ngerumput di kebun tetangga, biaselah ngambil upah”.

Selanjutnya bibinya melangkah ke dapur meninggalkan Yulita dan Romlah. Mereka berdua lalu bersenda gurau, sebentar-sebentar diselingi gelak tawa, mungkin ada kisah yang lucu, yang membuat mereka berdua tertawa. Setelah lelah bersenda gurau dan hari telah menjelang sore, Yulita pamit hendak pulang, karena takut nanti lama diperjalanan dan keburu malam. Disamping itu dia pun takut nanti kedua orangtuanya mengkhawatirkan keadaan dirinya. Setelah berpamitan kepada bibinya dan Romlah, maka Yulita segera pulang dan menjelang matahari terbenam sampailah Yulita di rumahnya.

Pada keesokan harinya Yulita duduk menyendiri di semak-semak dekat pohon kayu Lubang yang banyak tumbuh di belakang rumahnya. Dalam kesendiriannya ia berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa memohon petunjuk, apakah gerangan obat penyembuh mukanya yang buruk yang ia derita selama ini. Sambil berdoa, tanpa terasa air mata telah membasahi pipinya, rupanya ia menangis karena sedih sambil memanjatkan doa dan pinta.

Karena hari sudah sore ibunya memanggil Yulita untuk segera pulang. Karena tidak ada yang menyahut panggilan lalu ibu Yulita mencari ke kamar, akan tetapi di kamar pun Yulita tidak ditemukan. Ibunya mulai khawatir kemana pergi anaknya semata wayang. Dicarinya ke rumah tetangga, juga tidak ada. Melihat isterinya susah, Pak Yatim bertanya kepada isterinya, “Ade ape bu?” (Ada apa ibu?).

Lalu dijawab isterinya, “Anak kite dak de di kamar e entah kemane pergi e?”, lah ku carik ke rumah tetangga tapi dak de, ari ni la nek magrib, yo… !, kite cari anak kite!” (Anak kita tidak ada di kamarnya, tidak tahu kemana perginya?, sudah saya cari ke rumah tetangga tapi tidak ada, hari ini sudah mau magrib, mari..!, kita cari anak kita!).

“Tenang bu, sabar dulu, nanti ayah cari, sekarang ibu tunggu di rumah, ayah akan cari si Yulita”, kata suaminya. Lalu Pak Yatim pergi mencari. Setelah beberapa langkah dari rumah, la berhenti di tengah jalan, dia berpikir, kemana Yulita pergi, ke rumah temannya apa ke rumah bibinya? Karena bingung ia bercakap-cakap sendiri layaknya orang gila.

Sebenarnya Yulita tidak kemana-mana ia masih berada di belakang rumahnya, di dekat semak-semak yang banyak ditumbuhi pohon kayu lubang. Ia masih menangis terisak-isak. Air matanya membasahi pipi dan pada bagian matanya kelihatan sembab karena terlalu lama menangis, memikirkan nasibnya yang malang. Dalam tangisnya ia berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa seraya memohon petunjuk apakah gerangan obat penyembuh muka yang buruk penuh noda bercak-bercak hitam.

Atas kebesaran serta kehendak Tuhan Yang Kuasa, tiba tiba muncul dari balik semak kayu lubang, seorang perempuan berwajah cantik, berpakaian putih panjang, pada kepalanya terdapat mahkota yang dilapisi emas.

Perempuan cantik tersebut adalah seorang puteri jelmaan dari pohon kayu lubang. la datang dengan tiba-tiba atas perintah Tuhan Yang Kuasa untuk menolong Yulita, gadis yang malang.

Sang puteri lalu menyapa Yulita, “Wahai anak gadis yang malang, mengapa engkau menangis dan berada sendirian disini? Nampaknya engkau sedang diliputi kesedihan yang mendalam”.

Yulita, gadis malang ternganga, badannya gemetar karena terkejut dan takut Yulita sang gadis malang menjawab dengan terbata-bata, iya benar! Siapakah engkau? dan darimana engkau datang, serta ada maksud apa datang kemari?”

Lalu dijawab sang puteri sambil menghampiri Yulita. “Wahai gadis bernasib malang, jangan takut. Aku datang dari negeri khayangan untuk menolongmu”. “Terima kasih! Terima kasih!, kata Yulita.

Lalu puteri yang cantik berkata, “Wahai gadis bernasib malang, coba dengarkan pesanku ini. Petiklah pucuk daun kayu lubang yang ada di belakangmu. Lumat daun itu sampai halus lalu usapkan pada wajahmu setiap hari selama seminggu berturut-turut. Mudah-mudahan atas kehendak Allah, mukamu akan sembuh dan wajahmu akan menjadi licin, berseri dan cantik.

“Terima kasih Tuan Puteri, kata Yulita.

Dan dalam sekejap mata, sang puteri menghilang dari pandangannya. Yulita si gadis malang kini merasa senang dan gembira lalu dipetiknya pucuk daun kayu lubang secukupnya kemudian pulanglah ia ke rumah sambil berlari-lari kegirangan. la tidak sadar bahwa hari telah magrib dan kedua orangtuanya sudah berkeliling mencarinya. Setibanya di rumah ayahnya kelihatan sangat marah.

“Hei! Ita, ka kemane bai? hari la magrib ka baru pulang (Hai! Ita, kamu kemana saja? Hari sudah magrib kamu baru pulang). “Maaf, yah. Maaf, bu!”, jawab Yulita sambil senyum senyum gembira.
“Ade ape, ka senyum-senyum, muat orangtue susah mencari kesane kemari? Dasar bandel!” (Ada apa, kamu senyum-senyum, bikin orangtua susah mencari kesana kemari? Dasar anak bandel!), kata ibunya. “Ade apa sebenar e? ka gurak bener, biase e murung dan di kamar terus?” (Ada apa sebenarnya? kamu girang benar, biasanya murung dan di kamar terus?), tanya ibunya.

“Anu. …anu, …bu… kata Yulita gugup sambil memandang ayahnya”. “Ayo katakan anu apa?”, kata ibunya.
“Ya… sudah, sela ayahnya. “Ku nek sholat duluk di mesjid, nanti ka ngomonglah anu ape kek ibu ka” (Ya… sudah. Kata ayahnya. Saya mau sholat dulu di mesjid, nanti kamu ngomonglah anu apa sama ibu kamu).

“Baik, yah!”, kata Yulita.

Yulita lalu menceritakan kejadian yang terjadi sore itu kepada ibunya, “Tadi sore menjelang sholat ashar saya pergi, rencananya ingin bermain dengan teman-teman, akan tetapi kemudian saya pergi ke semak-semak di belakang rumah karena saya takut bertemu dengan teman-teman sebab mereka selalu mengejek diriku karena mukaku yang jelek. Sebenarnya saya ingin tinggal di rumah terus tapi rasanya jenuh dan bosan. Waktu saya duduk di bawah pohon, tiba-tiba muncul seorang perempuan berwajah cantik berdiri di hadapanku. Saya terkejut bukan kepalang dan badanku terasa gemetar, bercampur takut, saya tidak tahu darimana perempuan cantik itu datang. Waktu berhadapan dengan saya dia berkata agar aku tidak takut, karena ia datang untuk membantu menyembuhkan penyakit yang ada di mukaku. Caranya dengan memberitahukan bahwa obatnya adalah pucuk kayu lubang yang banyak tumbuh dibelakang rumah kita. Cara mengobatinya cukup sederhana Pucuk kayu lubang tersebut ditumbuk sampai halus lalu di usapkan ke wajah yang sakit setiap hari. Kemudian, katanya, penyakit tersebut akan sembuh setelah seminggu kemudian. Oleh sebab itu saya pulang agak terlambat dan tidak mendengar panggilan ayah dan ibu. Saya tidak sabar lagi untuk mencoba obat yang diajarkan perempuan cantik tadi”, lalu Yulita bergegas mengambil pucuk kayu lubang yang telah dipetiknya sebelum pulang tadi. “Begitulah ceritanya bu dan sekarang mari kita tumbuk daun pucuk kayu lubang ini”, kata Yulita kepada ibunya.

Tampaknya sang ibu pun merasa gembira. Ayah Yulita rupanya telah kembali dari mesjid dan merasa heran melihat isteri dan anaknya sibuk menumbuk daun pucuk kayu yang akan dipakai untuk obat nanti malam. Setelah selesai menumbuk daun pucuk kayu lubang ibu Yulita lalu menceritakan semua kejadian yang telah dialami anak mereka tadi sore.

Mendengar cerita tersebut, Pak Yatim sangat gembira dan berkata kepada isterinya, “Mudah-mudahan, ya, bu! semoga Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang menolong anak kita yang selama ini dirundung malang”.

Setiap menjelang tidur. Yulita rajin berbedak dengan daun pucuk kayu lubang. Seminggu telah berlalu, Yulita mengambil cermin. Dilihatnya wajah sendiri, serta diusap usapnya obat yang masih menempel. Ia pun terkejut dan kagum. Noda bintik-bintik hitam berangsur-angsur hilang dan sembuh.

Pada minggu selanjutnya, wajah Yulita telah sembuh.

Parasnya sangat cantik. Kulit mukanya halus mulus dan putih.

Yulita serasa tak jemu-jemu memandang wajahnya di cermin dan ia selalu bersyukur atas karunia Tuhan yang telah menyembuhkan penyakitnya. Karena sangat senang Yulita berteriak-teriak memanggil ibunya dan memberitahukan bahwa wajahnya telah sembuh,

Kedua orangtuanya terkejut dan tercengang seolah tidak percaya apa yang mereka lihat. Wajah puterinya kelihatan sangat cantik luar biasa. Kedua orangtuanya tak puas-puas memandang wajah anak kesayangannya semata wayang.

Karena bahagia dan rasa bersyukurnya, kedua orangtua Yulita langsung bersujud tanda syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Maha Agung, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tuhan telah menolong mereka, terutama telah menyembuhkan penyakit puterinya.

Sementara itu di luar rumah orang-orang berkumpul di tepi jalan, rupanya ada arak-arakan pengantin. Mendengar suara hadra yang begitu ramai, mereka bertiga pun keluar rumah ingin menyaksikan arakan pengantin tersebut. Setelah arakan pengantin lewat, tiga beranak tersebut lalu masuk kembali ke rumah.

Yulita tetap rajin mengobati wajahnya dengan daun pucuk kayu lubang walaupun wajahnya saat ini sudah sembuh dan noda-noda hitam pun telah lenyap. Ketika sedang asyik memegang dan memandangi wajahnya di cermin, ibunya datang dan bertanya kepada Yulita, “Sudah sekitar 10 hari Romlah dan temannya tidak datang, ada apa ya?” “Entahlah! Bu”, jawab Yulita, “Mungkin mereka sedang sibuk, belum selesai Yulita berbicara mereka mendengar suara pintu diketuk dan terdengar suara orang mengucapkan salam, “Assalamualaikum…!” “Waalaikumsalam”, jawab Yulita dan ibunya. Setelah dilihat ternyata yang datang adalah Romlah dan temannya. “Panjang umurnya” kata ibu Yulita kepada Romlah, “Baru saja tadi dibicarakan kenapa tidak datang-datang kesini”.

Ketika Romlah dan temannya menoleh ke arah Yulita, alangkah terkejutnya mereka, sampai-sampai mereka ternganga memandang wajah Yulita. “Masya Allah, cantiknya, luar biasa”, kata Romlah dan temannya. Mereka bertiga lalu saling berangkulan dan saling berpeluk cium.

“Siapa yang mengobati kamu Yulita?” tanya Romlah kepada Yulita. “Mari kita duduk di dapur saja, nanti akan saya ceritakan”, jawab Yulita. Mereka bertiga lalu menuju dapur, kemudian Yulita bercerita dari awal hingga akhirnya wajahnya sembuh dari penyakit. Romlah dan temannya sangat gembira mendengar cerita Yulita sehingga ia bisa sembuh dan sekarang sangat cantik luar biasa.

“Jadi yang menolong Yulita adalah seorang puteri khayangan atas kehendak serta kebesaran Allah?”, kata Romlah. “Benar”, jawab Yulita.

Setelah saling melepaskan kerinduan dan bersenda gurau, menjelang sore berpamitanlah Romlah beserta temannya untuk kembali pulang. Di sepanjang jalan Romlah bertemu dengan teman-temannya dan ia ceritakan tentang wajah Yulita yang sekarang cantik jelita, kemudian berita itu juga diceritakan Romlah kepada teman-temannya di Kampung. Kemudian tersebarlah cerita itu dari mulut ke mulut sehingga hampir seluruh penduduk kampung mengetahuinya, akan tetapi kebanyakan tidak percaya berita tersebut sebelum melihatnya dengan mata kepala sendiri. Sejak itu, ramailah orang berkunjung ke rumah Pak Yatim untuk melihat Yulita, terutama teman-temannya yang dulu sering mengejek, menghina dan memperoloknya, termasuk yang datang adalah bujang-bujang yang pernah menghina, mencaci bahkan meludahi Yulita. Mereka merasa menyesal dan berubah jadi jatuh hati dan simpatik pada Yulita. Kemudian terlontarlah kata-kata mereka, “Yulita, kami mohon maaf atas kelancangan kami dahulu, telah berbuat kurang ajar serta tidak pantas padamu. Terimalah kami kembali sebagai temanmu. Itulah kata maaf mereka. Dan dijawab oleh Yulita, “Baiklah. Saya maafkan kalian semua.

Kampung tempat tinggal Yulita tidak jauh dari sebuah kota yang sangat ramai, kota tersebut dipimpin oleh seorang pembesar bernama Indrajati. Beliau memiliki seorang putera bernama Indrajaya yang sebentar lagi berusia 25 tahun.

Pada suatu hari pembesar Indrajati memanggil para pembantu utamanya dan memerintahkan kepada mereka untuk mengumumkan kepada rakyat di kota dan di kampung kampung terdekat, bahwa dirinya akan mengadakan pesta ulang tahun puteranya yang telah genap berusia 25 tahun, pada purnama nanti. Untuk acara peringatan tersebut seluruh rakyat diundang menghadiri pesta.

Sejak pengumuman tersebut, terjadilah kesibukan yang luar biasa di kota. Segala persiapan untuk pesta dibangun. Juru masak pun sibuk mempersiapkan aneka makanan untuk keperluan pesta. Sementara itu beberapa orang pengawal melaksanakan perintah Indrajati keliling kampung dan kota untuk menyampaikan undangan.

Hari yang dinanti-nantikan pun telah tiba, keadaan kota kelihatan sangat semarak dan dipenuhi para undangan yang hadir. Di seluruh penjuru kota penuh hiasan yang terbuat dari janur. Begitu pula kondisi di dalam rumah Indrajati, seluruh ruangan dihiasi dengan aneka bunga sehingga sangat indah kelihatannya. Indrajaya, sang putra duduk di kursi kebesaran. Acara resepsi pun dimulai. Suasana riuh rendah, ramai sekali. Kelompok kesenian dan musik mulai beraksi menunjukkan keahliannya. Disela-sela keramaian, mata Indrajaya melihat ke arah tamu undangan dengan wajah berseri, sambil tersenyum, seolah-olah memberi penghormatan. Suatu saat terlintas pandangannya ke arah seorang dayang berbaju merah jambu yang kelihatan cantik dan anggun. Belum pernah selama ini ia melihat perempuan cantik seperti saat ini, baik di kota maupun selama ia berkunjung ke kampung-kampung. Rupanya dayang berbaju merah jambu yang dilihatnya adalah Yulita yang sedang duduk diapit oleh ayah dan ibunya. Yulita bersama kedua orangtuanya memang hadir untuk melihat acara di kota, karena selama ini Yulita belum pernah mereka ajak ke kota. Pada saat keberangkatan Yulita berpakaian sederhana saja, tidak bersolek berlebihan seperti dayang-dayang seusianya.

Indrajaya merasa kesepian duduk sendiri di kursi kebesaran. Tiada teman yang dapat diajak bicara. Sementara ayahanda dan ibundanya duduk berdekatan dan sekali-sekali berdiri menyalami para tamu. Karena penasaran dan kesepian lalu Indrajaya menghadap ayahnya dan mengutarakan maksud hati untuk mohon izin mengajak seseorang puteri, menemani dirinya duduk di sampingnya sebagai teman untuk berbicara.

Permintaan Indrajaya dipenuhi oleh ayahandanya dan dengan bergegas ia pun turun dari kursi kebesaran untuk menemui Yulita yang sedang asyik menyaksikan acara tarian. Setibanya di dekat tempat duduk Yulita dan kedua orangtuanya, Indrajaya langsung memberi salam.

“Assalamualaikum”.

“Waalaikumsalam”, jawab Yulita bersama kedua orangtuanya serentak sambil membungkukkan badan. Indrajaya kemudian bertanya, “Dengan siapa adik datang kemari, memenuhi undangan kami?”

Lalu dijawab oleh Yulita,”Saya bersama ibu dan ayah, sambil tangannya menunjuk ke kedua orangtua-nya”. Ayah dan ibu Yulita tersenyum sambil menganggukkan kepala ke arah Indrajaya pertanda hormat.

“Ayah dan ibu Yulita, izinkan saya mengajak Yulita untuk menemani saya duduk di atas”, kata Indrajaya kepada orangtua Yulita.

“Silahkan. nak”, kata kedua orangtua Yulita.

Kemudian Yulita minta izin kepada kedua orangtuanya. Setelah diizinkan, barulah ia pergi mengikuti Indrajaya menuju kursi kebesaran. Sebelum duduk di kursi kebesaran di samping Indrajaya, Yulita terlebih dulu diajak bersalaman sambil berkenalan dengan kedua orangtua Indrajaya.

Indrajati beserta isterinya sangat terkejut melihat puteranya berjalan bersama seorang perempuan yang sangat cantik dan baru dilihatnya.

“Silahkan duduk adik yang manis”, kata Indrajaya Yulita dengan agak malu-malu duduk di kursi kebesaran berdampingan dengan Indrajaya. Suasana pesta yang ramal serasa tak dipedulikan oleh Indrajaya, matanya selalu menatap wajah gadis yang baru dikenalnya. Setiap matanya bertatapan dengan mata Yulita, hatinya berdegup kencang. Dirinya merasakan ada suatu perasaan yang aneh dan belum pernah dia rasakan. Demikian pula halnya dengan perasaan Yulita. Untuk menenangkan diri dan perasaan hatinya, diajaknya Yulita berbincang-bincang tentang tempat tinggal, tentang keluarga dan tentang kegiatan yang dilakukan sehari-hari di rumah. Dan tanpa terasa, karena keasyikan berbicara, acara pesta sudah hampir berakhir.

Sebelum mereka berpisah Indrajaya bertanya kepada Yulita, “Nanti, lain hari, bolehkah saya datang ke rumahmu?”

“Jika bersedia, silahkan, tetapi…”, kata Yulita. “Tetapi apa?” kata Indrajaya.

“Rumah orangtua hamba sangat tidak pantas dibanding rumah para tetangga lainnya, ayah hamba hanyalah seorang petani miskin”, kata Yulita.

“Wah…, kalau hal itu bagi saya tidak menjadi masalah”,kata Indrajaya.

Hari pun berlanjut malam, tamu-tamu mulai beranjak pulang. Yulita beserta orangtuanya juga mohon pamit untuk pulang. “Baiklah… kalau begitu, selamat malam dan sampai bertemu lagi”, kata Indrajaya. Setelah berpamitan dengan orangtua Indrajaya, Indrajati dan isterinya, Yulita bersama kedua orangtuanya pulang dengan perasaan gembira dan puas atas segala sambutan yang telah diberikan.

Tiga hari kemudian dengan dikawal 2 orang pengawal, Indrajaya berkunjung ke rumah Yulita, gadis pujaannya. Setiba di rumah Pak Yatim ia mengucap salam, “Assalamualaikum!”

“Waalaikumsalam”, jawab seseorang dari dalam rumah yang tak lain adalah Pak Yatim, ayah Yulita seraya membukakan pintu. “Silahkan masuk, tuan Indrajaya, inilah gubuk tempat tinggal kami, tidak pantas rasanya tuan duduk di kursi kayu yang reot ini, itulah adanya jadi sebelumnya kami mohon maaf” kata ayah Yulita sambil membungkukkan badannya.

“Tak apa-apa” jawab Indrajaya. “Kami tidak menyangka kalau tuan sudi mengunjungi orang miskin seperti kami”, kata Pak Yatim. “Jangan bicara begitu Pak Yatim, bagi saya semua orang adalah sama. Yang membedakan adalah budi pekertinya”, jawab Indrajaya.

“Kalau begitu, silahkan duduk tuan, sebentar saya panggilkan Yulita”. Kemudian Pak Yatim masuk untuk memanggil Yulita yang sedang berada di dapur. Yulita keluar menemui Indrajaya. Pakaian yang dikenakannya sangat sederhana akan tetapi ia tetap kelihatan cantik.

“Selamat datang di rumah kami, beginilah kehidupan kami. Terima kasih tuan sudah sudi mengunjungi tempat tinggal kami”, kata Yulita kepada Indrajaya,

“Saya datang memenuhi janji saya”, jawab Indrajaya sambil matanya menatap wajah Yulita. Ditatap demikian Yulita tersipu malu. Pipinya memerah, membuat dirinya semakin cantik. Selanjutnya Yulita dan Indrajaya terlibat dalam pembicaraan. Kadang-kadang diselingi dengan canda dan tawa.

Tidak berapa lama kemudian Indrajaya mohon pamit untuk pulang ke kota. Sepanjang perjalanan Indrajaya selalu terbayang akan wajah Yulita. Sebenarnya terasa berat baginya meninggalkan Yulita. Hanya karena janjinya kepada kedua orangtua untuk tidak bermalam di kampung, makanya ia segera pulang.

Setiba di rumah, Indrajaya selalu termenung, duduk melamun. Kadang-kadang senyum-senyum sendiri, terbayang wajah Yulita pujaan hatinya. Keadaan Indrajaya seperti itu diketahui oleh ayahandanya Indrajati.

Ketika Indrajaya sedang melamun, tiba-tiba menghadaplah seorang pengawal ayahandanya untuk menyampaikan pesan agar Indrajaya menghadap ayahnya, Indrajati. Dengan bergegas, Indrajaya menemui ayahandanya yang sedang duduk bersama ibundanya.

“Ada maksud apa ayahanda dan ibunda memanggil diriku”, kata Indrajaya.

“Duduklah, puteraku, di samping bundamu”, kata Indrajati kepada Indrajaya. “Sekarang dirimu sudah berusia 25 tahun, sudah cukup dewasa untuk menikah. Ayah dan ibumu sudah tua. Kamulah satu-satunya penerus keturunan keluarga kita. Semua kekuasaan dan harta kekayaan akan ayahanda wariskan kepada dirimu, tetapi dengan persyaratan, dirimu harus menikah terlebih dahulu. Untuk itu carilah pasangan yang sesuai dan yang nanda sukai”.

“Mohon diampuni ayahanda. Ananda mau menikah dengan pilihan ananda, yaitu gadis pujaan sendiri”, kata Indrajaya.
“Kalau demikian, baiklah. Siapa gadis beruntung yang menjadi pilihan hatimu?”, kata Indrajati. “Gadis itu pernah bersujud pada ayah dan bunda pada waktu pesta ulang tahun ananda. Namanya Yulita. Orangtuanya bernama Yatim. Mereka tinggal di sebuah kampung di sebelah Timur kota”, jawab Indrajaya. “Apa tidak keliru? Itukan anak dari kampung. Bukan dari lingkungan ningrat dan bangsawan”, kata Indrajati. “Mohon ampun, ayahanda. Kita jangan membeda bedakan manusia berdasarkan pangkat, kedudukan, agama maupun keturunan”, kata Indrajaya.

Ayahnya sejenak berpikir kemudian berkata, “Benar katamu puteraku. Kalau begitu, bulan depan kita adakan pesta pernikahanmu. Sekarang ananda kembalilah ke tempatmu.”

“Baik, ayahanda”, jawab Indrajaya. Indrajati lalu mengumpulkan seluruh pembantu dan pengawalnya untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan rencana pernikahan Indrajaya.

Untuk melamar Yulita, Indrajati mengutus kepala pengawalnya mewakili dirinya. Setelah persiapan dirasakan cukup berangkatlah kepala pengawal beserta rombongan menuju kampung tempat tinggal keluarga Pak Yatim. Setelah setengah hari perjalanan sampailah mereka di tempat tujuan. Mereka langsung menuju rumah Pak Yatim.

Alangkah terkejutnya Pak Yatim didatangi kepala pengawal Indrajati. Kepala pengawal lalu menyampaikan maksud kunjungannya yaitu dia diutus oleh Indrajati untuk melamar Yulita, puteri Pak Yatim yang akan dijodohkan dengan Indrajaya. Alangkah terkejutnya Pak Yatim mendengar lamaran tersebut, “Apakah hamba tidak salah dengar maksud yang tuan katakan? Mungkin tuan salah rumah yang dituju”, kata Pak Yatim. “Tidak…! Tidak! Tidak salah. Kan bapak yang bernama Pak Yatim, orangtua Yulita?”, kata kepala pengawal.

“Benar tuan. Jadi hal ini benar adanya?”, tanya Pak Yatim hampir tidak percaya. “Tuan yang terhormat, anak kami Yulita adalah anak petani miskin. Menurut pikiran hamba, dia tidak sesuai dinikahkan dengan bangsawan Indrajaya, kata Pak Yatim.

“Itu semua diserahkan keputusannya pada Pak Yatim, karena tuan Indrajati sudah memikirkannya”.

“Baiklah. Lamaran tuan hamba terima”, jawab Pak Yatim. Kemudian kepala pengawal menjelaskan kepada Pak Yatim bahwa tuan Indrajati berencana merayakan pesta pernikahan puteranya Indrajaya dengan Yulita pada 14 hari menjelang bulan purnama. Kemudian kepala pengawal mengucapkan terima kasih kepada Pak Yatim karena telah menerimanya dengan baik. Setelah itu mereka pamit untuk pulang, karena di kota masih banyak tugas yang harus mereka selesaikan.

Pada hari yang telah ditentukan, dilaksanakanlah perayaan pernikahan antara Indrajaya dengan Yulita. Suasana di rumah besar milik tuan Indrajati, tempat pelaksanaan pesta, sangat ramai didatangi tamu undangan. Yang hadir tidak hanya para bangsawan akan tetapi tetangga dan teman dekat Yulita pun ikut hadir. Acara perayaan berlangsung sangat meriah dan baru berakhir menjelang larut malam.

Setelah pernikahan tersebut Yulita dan Indrajaya hidup berbahagia. Hampir setiap bulan mereka selalu mengunjungi orangtuanya di kampung. Rumah Pak Yatim pun sudah dibangun baru. Pak Yatim sangat bahagia sekali dan setiap selesai sholat dia selalu berdoa, “Ya… Allah, kami merasa terharu dan bahagia atas karunia Mu yang tak terhingga ini. Lebih lagi dengan dibangun rumah baru untuk kami. Karena itu kami bersyukur pada Mu ya Allah”.

Sementara itu para tetangga yang selama ini tidak pernah mengunjungi rumah Pak Yatim, setelah Pak Yatim memiliki rumah baru, mereka mengerumuni rumah Pak Yatim, diantara mereka ada yang berbicara, “Sungguh baik nasibmu, Pak Yatim. Mendapat mantu seorang bangsawan yang budiman”. Rata-rata para tetangga saling bercakap di antara mereka, memuji Pak Yatim yang bernasib sangat mujur.

Cerita ini diketik ulang dari buku “Kumpulan Cerita Rakyat” dengan judul “Kera & Lutung Berebut Kelekak”
Penyusun: Drs. Akhmad Elvian & Suhada, S.Pd
Editor : Willy Siswanto
Dituturkan oleh Imam Sudarto
Diterbitkan Oleh Dinas Pariwisata Kota Pangkalpinang

Related Articles

Back to top button