Kisah MasyarakatProduk

KONFERENSI PANGKALPINANG

Salah satu great historycal event atau peristiwa sejarah besar yang terjadi di Kota Pangkalpinang Pulau Bangka tentang pergerakan kebangsaan adalah dilaksanakannya konferensi pangkalpinang pada tanggal 1 sampai 12 oktober 1946.

Konferensi Pangkalpinang dilaksanakan sebagai kelanjutan dan konferensi federal yang dilaksanakan di Malino Sulawesi Selatan pada tanggal 15 sampai 25 juli 1946. Dipilihnya Pangkalpinang sebagai tuan rumah pelaksanaan konferensi karena pemerintah Hindia Belanda ingin menjadikan daerah-daerah di luar Pulau Jawa dan di luar Pulau Sumatera sebagai basis kekuatannya. Konferensi ini bertujuan untuk penyatuan pendapat antara golongan-golongan minoritas yang ada di indonesia untuk mendukung pemerintah Hindia Belanda. Golongan-golongan minoritas tersebut adalah orang-orang Indo-Eropa, Arab, Cina, Jepang dan India.

Konferensi Pangkalpinang diikuti sejumlah 80 orang delegasi. Konferensi ini kurang disambut antusias masyarakat Bangka dan disertai dengan ketidakjelasan sikap Etnis Cina yang tinggal di Pulau Bangka. Ketidakjelasan sikap orang-orang Cina dikarenakan keseganan mereka terhadap perjuangan kaum Republik (kaum Republiken) dan traumanya orang Cina di pulau Bangka terhadap perlakuan dan kekerasan pemerintah Hindia Belanda dalam menumpas pemberontakan orang-orang cina di pulau Jawa.

Dari sisi politis delegasi etnis Cina di pulau Bangka tidak memberikan usul yang berarti, mereka hanya mengusulkan tentang bantuan dan subsidi pendidikan terhadap sekolah Tiong Hoa Hwe Koan (THHK), perbaikan pelayanan kesehatan, dan perbaikan sistem perdagangan.

Kaum Republiken di pulau Bangka sangat menentang konferansi pangkalpinang karena konferansi ini merupakan strategi dan upaya H.J. Van Mook, Walil Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan pemimpin NICA (Netherland Indies Civil Administration) untuk membentuk negara federal Bangka Belitung dan Riau dalam negara indonesia serikat yang merupakan Uni Indonesia-Belanda. Terpilih pada waktu konferensi Pangkalpinang sebagai pimpinan, seorang dokter bernama Liem Tjai Lie (salah seorang dokter di Dinas Kesehatan Rakyat Bangka).

Setelah perundingan Linggarjati pada tanggal 10 November 1946 yang salah satu isi butirnya adalah Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan ratu Belanda selaku ketuanya, kemudian dalam rangka membentuk Negara Indonesia Serikat tersebut, pemerintah Hindia Belanda membentuk Bangka Raad (Dewan Bangka Sementara) dengan surat keputusan tanggal 10 Desember 1946 Nomor 8 (STBL. 1946 Nomor 38) yang ditandatangani oleh Guvernemen General Nederlandshe Indie. Keputusan ini menjadikan pulau Bangka suatu daerah otonom.

Dewan ini beranggotakan 25 orang yang terdiri dari 14 orang indonesia, 9 orang Tionghoa serta 2 serta orang bangsa Belanda. Dari 14 anggota orang Indonesia, 13 orang dipilih dan 1 orang diangkat oleh residen, kemudian dari 9 anggota orang Tionghoa, 8 orang dipilih dan 1 orang diangkat masyarakat dan 1 orang diangkat oleh residen.

Kemudian dengan surat keputusan Lt. Guverneur General Nederlandshe Indie tanggal 12 juli 1947 Nomor 7 (STBL. 1947 Nomor 123) Dewan Bangka sementara ditetapkan sebagai Dewan Bangka dan ketuanya tetap dipegang oleh Masyarif Datuk Bendaharo Lelo.

Setelah pelaksanaan konferensi Pangkalpinang diadakan konferensi Denpasar di Bali pada tanggal 24 Desember 1946. Konferensi ini berhasil melahirkan Negara Indonesia Timur (NIT).

Upaya pemerintah Belanda untuk membentuk negara-negara federal terus diupayakan, dalam bulan januari tahun 1948 dengan surat keputusan Lt. Guverneur General Nederlandshe Indie Nomor 4 (STBL. 1948 Nomor 123) tanggal 23 januari 1948, Dewan Bangka, Dewan Belitung dan Dewan Riau bergabung menjadi BABIRI yang kemudian akan dijadikan salah satu Negara Federal dalam Uni Indonesia-Belanda.

Kemudian pada tanggal 29 mei 1948 dilaksanakan konferensi Bandung yang diikuti oleh 3 orang utusan dari Pulau Bangka yaitu Masyarif Datuk Bendaharo Lelo, Se Siong Men, dan Joesoef Rasidi.

Konferensi Bandung ini menyepakati berdirinya BFO (Bijeenkomst Voor Federal Overleg) yaitu sebuah Badan permusyawaratan Federal yang beranggotakan wakil-wakil dari Negara Federal bentukan pemerintah Belanda dan diharapkan juga nantinya Republik Indonesia juga ikut bergabung di dalamnya.

Sebagai ketua BFO terpilih Sultan Hamid ll dari Pontianak. Secara umum dapat disimpulkan bahwa konferensi ini berhasil membentuk BFO dan gagal mempengaruhi kaum republik dan rakyat untuk mendirikan Negara Bangka Belitung dan Riau, karena semangat nasionalisme dan patriotisme masyarakat Bangka khususnya warga Pangkalpinang.

Upaya Belanda membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) kemudian berhasil dilaksanakan dengan ditandatanganinya konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 14 desember 1949.

Berdasarkan konstitusi ini negara berbentuk federasi dan meliputi seluruh daerah indonesia yaitu daerah bersama meliputi daerah-daerah seperti Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Daerah Istimewah Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.

Daerah yang disebutkan diatas merupakan satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri disamping Negara Republik Indonesia, kemudian negara-negara federal bentukan Belanda serta daerah-daerah indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.

Upacara penandatanganan piagam konstitusi RIS dilaksanakan di Pegangsaan Timur 56 jakarta oleh wakil-wakil dari negara/daerah yang akan menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat, untuk daerah Bangka piagam ditandatangani oleh Mohammad Jusuf Rasidi dan daerah Belitung ditandatangani oleh K.A. Mohammad Jusuf.

Setelah ditandatanganinya konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 14 desember 1949 dan berdasarkan konstitusi ini negara berbentuk federasi. Bangka merupakan satuan kenegaraan yang tegak berdiri sendiri disamping Negara Republik Indonesia dan negara-negara Boneka bentukan Belanda, akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama, setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda pada tanggal 27 desember 1949, dengan keputusan presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) Nomor 141 Tahun 1950, Bangka dan Belitung disatukan kembali dalam Negara Republik Indonesia.

Pada tanggal 21 April 1950 datanglah ke Pangkalpinang Perdana Menteri Dr. Halim beserta rombongannya yang terdiri dari 18 orang. Diantaranya Dr. Mohd. Isa Gubernur Sumatera Selatan. Pada tanggal yang sama bertempat di keresidenan (sekarang rumah Walikota Pangkalpinang) diserahkan pemerintahan atas Bangka kepada Gubernur Sumatera Selatan.

Dengan penyerahan tersebut, maka bubarlah Dewan Bangka (Bangka Raad). Pemerintahan Republik Indonesia kemudian menetapkan R. Soemardjo pada tanggal 22 april 1950 sebagai Residen Bangka, kemudian pulau Bangka ditetapkan menjadi kabupaten yang terdiri atas 5 kewedenaan dan 13 kecamatan.

Kewedanaan tersebut meliputi Bangka utara yang beribukota di Belinyu, kewedanaan Sungailiat yang beribukota di Sungailiat, kewedanaan Bangka Tengah beribukota di Pangkalpinang, kewedanaan Bangka Barat beribukota di Muntok dan kewedanaan Bangka Selatan beribukota di Toboali. Sebagai Bupati Bangka pertama diangkatlah R. Soekarta Martaatmadja.

Kewedanaan Bangka Tengah dengan ibukota Pangkalpinang terdiri atas tiga kecamatan yaitu kecamatan Pangkalpinang dengan ibukota Pangkalpinang, kecamatan Mendo Barat dengan ibukota Petaling dan kecamatan Sungai Selan dengan ibukota Sungai Selan.

Pada tahun 1954 masing-masing wilayah kecamatan dibagi atas beberapa daerah yang disebut kenegerian yang dikepalai oleh seorang kepala Negeri. Sementara masing-masing kenegerian terdiri dari beberapa kampung yang dikepalai oleh kepala kampung.

(@SN)

SUMBER: Kampoeng di Bangka, Jilid 1, Drs. Akhmad Elvian

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button