Kisah MasyarakatKolom

LO NGIN BUK

Pada tahun 1934 Masehi, Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan Pangkalpinang sebagai pusat perawatan orang tua/jompo bekas buruh-buruh tambang timah dari Cina. Tempat perawatan orang tua/jompo bekas pekerja tambang timah dari Cina lainnya yang tersebar di seluruh pulau Bangka kemudian ditutup.

Pemerintah kolonial Belanda menyerahkan kepada Gereja Katolik untuk mengelola fasilitas ini. Bruder-bruder Budi Mulia kemudian mengelola tempat perawatan orang tua/jompo bekas pekerja timah dari Cina yang oleh masyarakat Pangkalpinang dikenal dengan nama Lo Ngin Buk (rumah bagi orang tua).

Pada tahun 1935 Masehi para bruder Budi Mulia mulai membangun gedung Novisiat (tempat pendidikan calon biarawan/bruder), salah satu bruder pertama yang dididik disini adalah Bruder Angelus Manopo yang cukup lama berkarya. sementara itu untuk membiayai perawatan orang-orang tua/jompo, para bruder Budi Mulia memelihara sapi perah yang susunya kemudian dijual kepada masyarakat umum. Peternakan sapi perah ini sekitar tahun 1980 ditutup karena dinilai tidak ekonomis.

Perhatian terhadap pekerja-pekerja tambang timah dari Cina berawal dari mulai berkarya seorang tabib (shine) Tionghoa yang beragama Katolik di Sungaiselan yang bernama Tsen On Ngie (Zeng Aner) yang lahir di Cina pada tahun 1795 Masehi.

Pada tahun 1830 Masehi beliau datang ke Sungaiselan dari Penang Malaysia. Sejak tahun 1849 Masehi beliau mulai bekerja sebagai seorang tabib Shine dan berkeliling di pulau Bangka mengobati orang-orang sakit, terutama buruh-buruh Cina yang bekerja di parit penambangan timah.

Banyak buruh-buruh tambang ini tertarik akan keteladanan Tsen On Ngie dan kemudian belajar agama katolik kepada beliau, komunitas pemeluk agama Katolik terbentuk di Sungaiselan dibawah bimbingan Tsen On Ngie.

Pada tahun 1849 Masehi Pator Claessens dari Batavia mengunjungi Sungaiselan dan mengkatolikkan 50 (lima puluh) orang yang telah dididik dan dipersiapkan oleh Tsen On Ngie. Pada tahun 1853 Masehi Pastor Langenhoff dibenum untuk tugas di Sungaiselan dan Tsen On Ngie mendampingi beliau sebagai Katekis (guru agama). Wilayah pelayanan Pastor Langenhoff meliputi Bangka, Belitung, Palembang dan Riau dan malah berkembang sampai Ke Kalimantan.

Kondisi di pulau Bangka pada masa penjajahan Belanda memang memprihatinkan karena sering terjadi wabah demam yang dikenal dengan sebutan demam Bangka, disentri, cacar dan kolera serta penyakit beri-beri. Penyakit-penyakit tersebut sangat berbahaya karena menular dan menyebabkan kematian. Mewabahnya berbagai penyakit ini jelas menunjukkan bahwa pada masa penjajahan Belanda fasilitas kesehatan dan kebersihan tidak diperhatikan.

Ketidakpedulian pejabat kolonial dan kepala kongsi terhadap kesehatan dan fasilitas pekerja serta kesejahteraan kuli-kuli tambang berakibat beberapa residen Belanda sendiri meninggal dunia karena penyakit di pulau Bangka.

Mewabahnya berbagai penyakit seperti beri-beri, kolera dan demam yang menyebabkan banyaknya kematian pada pekerja tambang dari Cina di Bangka, umumnya disebabkan karena kurangnya perhatian terhadap kebersihan, kesehatan dan makanan yang disediakan.

Barak-barak pekerja beserta fasilitas yang disediakan di parit-parit penambangan timah umumnya dibangun dengan kondisi yang sangat memprihatinkan sekali berbeda dengan janji-janji yang diberikan pada saat mereka menandatangani kontrak kerja dan pada saat pemberangkatan ke pulau Bangka.

Perlakuan yang buruk dari pemerintah Hindia Belanda terhadap orang Cina pekerja parit pertambangan sebagaimana layaknya seorang budak. Kuli tambang yang sudah terikat kontrak dalam ketentuannya telah hilang hak kemerdekaannya sebab mereka dikenakan kewajiban untuk bekerja secara terus menerus dan tidak boleh meninggalkan lokasi pertambangan. Meninggalkan lokasi tambang atau tidak bekerja bagi seorang kuli kontrak perlakuannya hampir sama seperti perlakuan terhadap seorang pelarian militer.

Seorang kuli yang telah habis masa kontrak kerja dipertambangan tidak diperbolehkan langsung pulang ke negeri asalnya, melainkan harus tinggal paling sedikit selama dua tahun dan kemudian baru diperkenankan pulang setelah mendapat surat keterangan pemberhentian secara resmi dari pemerintah. Surat keterangan pemberhentian secara resmi adalah bahwa seorang kuli kontrak bukan seorang pelarian dari tambang timah.

Penindasan dan penderitaan serta perasaan senasib dengan pribumi Bangka yang kemudian menyebabkan timbulnya rasa persatuan dan solidaritas dari orang-orang Cina Bangka untuk bersama melawan Pemerintah Hindia Belanda ketika mereka diajak oleh Depati Amir untuk ikut perang.

Setelah perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin Depati Amir selesai sekitar tahun 1851 Masehi, Pemrintah Kolonial Belanda mulai memperhatikan kesehatan, pendidikan dan kehidupan keagamaan masyarakat.

Satu-satunya yayasan rumah sakit untuk orang-orang Cina penderita penyakit Lepra di kota Mentok, memperoleh bantuan dari pihak pemerintah melalui ketentuan berdasarkan Keputusan tanggal 15 Juli 1850 nomor 11.

Pajak yang dikenakan untuk pengiriman uang perak Spanyol oleh pekerja-pekerja tambang ke Cina yang dipungut di Muntok sepertiganya dikirim ke Cina dan sisanya disalurkan untuk membantu operasional yayasan rumah sakit.

Untuk mengatasi berbagai macam penyakit yang mewabah dipulau Bangka, dokter dan petugas Keresidenan secara rutin memberikan vaksinasi kepada penduduk, terutama dilakukan di ibukota Keresidenan di Kota Muntok. Agar proses vaksinasi dpat diterima oleh penduduk pulau Bangka, maka pemerintah mempekerjakan petugas vaksin dari orang-orang pribumi Bangka.

Kemudian untuk pencegahan penularan penyakit mulai diperhatikan makanan pekerja dan kebersihan lingkungan seperti dapur, tempat tinggal dan lokasi sekitar penambangan termasuk kebun sayuran dan pertenakan babi yang diusahakan pekerja tambang dari Cina.

(@RP)

Sumber: Kampoeng di Bangka, Jilid I Drs.Akhmad Elvian

Related Articles

Back to top button