Cerita Rakyat/PantunKisah Masyarakat

RAJA PANJANG JUNGUR

Pada masa ratusan tahun yang lalu, di suatu negeri yang bernama Tudung Aru, hiduplah seorang pemimpin negeri bernama Datuk Simpek. Datuk Simpek memerintah negerinya dengan tangan besi, oleh sebab itu ia tidak disenangi rakyatnya. Banyak rakyatnya yang lari dan pindah ke negeri lain. Mereka takut karena Datuk Simpek adalah pemimpin yang sangat kejam dan memiliki banyak kesaktian. Begitu pula para punggawa negeri, sangat tunduk dan patuh kepada setiap titah dan perintah Datuk Simpek. Disamping sakti dan kejam Datuk Simpek mempunyai kebiasaan yang aneh yaitu, setiap hari dia selalu minta dibuatkan makanan kesukaannya, yaitu usus ayam.

Kalau makanan tersebut tidak tersedia, maka juru masak kerajaan akan diganti atau dihukum berat malah bisa dihukum mati.

Pada suatu hari juru masak kerajaan yang bernama Saing berusaha untuk mencari dan mengumpulkan ayam dari seluruh kampung di kerajaan untuk diambil ususnya. Celakanya pada hari itu Saing sang juru masak kerajaan tidak mendapatkan ayam seekor pun, karena telah habis selama ini diperuntukkan bagi makanan Datuk Simpek. Juru masak Saing merasa takut karena tidak dapat menyiapkan makanan kesukaan Datuk Simpek, saking takutnya dia bersembunyi di dekat sebuah rawa-rawa dan karena kelelahan ia bersandar pada sebatang pohon. Sebentar lagi adalah waktu bagi Datuk Simpek akan bersantap pikirnya dalam hati, tetapi usus ayam belum juga tersedia. Saing merenung dan berpikir akan menerima hukuman yang berat dari datuk Simpek. Sambil berpikir Saing mencongkel-congkel tanah rawa-rawa di depannya, tiba-tiba tercongkellah olehnya seekor cacing rawa yang besar, panjang dan gemuk. Orang kampung sering menyebutnya dengan nama cacing geleng.

Melihat cacing geleng yang bekeluget-keluget, timbul pikiran Saing untuk menjadikan cacing-cacing tersebut seperti Usus ayam. Betapa gembira hati Saing mendapat pikiran seperti itu, lalu dengan bergegas dikumpulnya beberapa puluh ekor cacing geleng lalu dibawanya ke tepi sungai untuk dibersihkan.

Saing berkata dengan suara bingseng, “Dak de usus ayam, cacing geleng ne jadilah” (Tidak ada usus ayam, cacing besar ini jadi juga), kemudian cacing geleng dibersihkan sampai putih bersih seperti usus ayam yang biasa dibuatnya sebagai makanan kesukaan Datuk Simpek.

Setelah semuanya selesai, Saing pulang ke istana dan langsung menuju ke dapur istana dengan diam-diam karena takut ketahuan oleh orang lain. Dengan agak sedikit gemetar, Saing menghidangkan masakan cacing geleng yang telah diramunya seperti usus ayam kehadapan Datuk Simpek. Dalam hatinya Saing berkata, “Mati ku hekalik ne” (Mati saya sekali ini), sambil memegang-megang lehernya.

Datuk Simpek kemudian mulai melahap masakan dihidangkan juru masaknya, Saing, sambil matanya berkedap kedip, mulutnya berdesis-desis karena memang sudah lapar Saing makin merasa takut, dalam pikirannya, ajalnya sudah sangat dekat.

Tiba-tiba Datuk Simpek menatap mata Saing tajam tajam dan berkata, “Saing! Makanan apa ini? Lezat dan nikmat benar rasanya. Lain dari yang biasanya kamu sediakan”.

“Usus ayam, tuanku”, jawab Saing sambil gugup takut ketahuan oleh Datuk Simpek.

“Ini pasti bukan usus ayam. Rasanya lebih lezat dan gurih sergah Datuk Simpek sambil terus mengunyah.

“Ya, tuanku. Usus ca…. ayam, tuanku” hampir saja Saing menyebut cacing.

“Usus apa ini Saing!”, kata Datuk Simpek mulai marah. Pikir-nya pasti Saing berdusta.

Sambil ketakutan Saing berkata, “Usus cacing geleng, tuanku!” Tiba-tiba tersebut juga yang hal sebenarnya oleh Saing karena ketakutan.

Datuk Simpek terkejut mendengar yang dimakannya adalah cacing geleng bukan usus ayam. Tetapi akhirnya Datuk Simpek tersenyum dan berkata kepada Saing, “Mulai saat ini kamu tidak usah lagi membuat masakan dari usus ayam, tapi buatlah dengan menggunakan cacing geleng saja karena rasanya sangat lezat dan gurih.” Pada hari-hari berikutnya, Saing mulai mencari dan memasak cacing geleng untuk dimakan Datuk Simpek setiap hari. “Lepas balak e” (Lepas bahaya-nya) pikir Saing dalam hati. “Dak jadi mati ku”, kata Saing dalam hati.

Rakyat kerajaan Tudung Aru sudah lama tidak melihat pemimpin mereka, Datuk Simpek. Terbetik kabar bahwa Datuk Simpek sekarang telah bersemayam di sebuah bangunan bertingkat dalam istana negeri. Mengapa Datuk Simpek berbuat begitu? Tak seorang pun yang tahu termasuk Perdana Menteri.

Tiap hari Perdana Menteri dipanggil oleh Datuk Simpek, akan tetapi mereka tidak bertatap muka. Perdana Menteri hanya bisa mendengar suara Datuk Simpek dari atas bangunan bertingkat, Suaranya pun agak berbeda mirip-mirip suara Datuk Simpek, akan tetapi agak lain bunyinya. Perdana Menteri heran.

Kemudian Datuk Simpek memerintahkan kepada Perdana Menteri agar setiap orang dilarang menatap mukanya. Barang siapa yang melanggar perintah ini akan di hukum mati. Perdana Menteri merasa heran akan perintah itu. Apa sebenarnya yang telah terjadi pada diri Datuk Simpek hingga semua orang dilarang menatap mukanya? Perdana Menteri lalu mulai mencari akal untuk menyelidiki apa sebenarnya yang terjadi pada Datuk Simpek.

Pada suatu hari timbullah akalnya untuk melihat muka Datuk Simpek secara bersama-sama dengan rakyat karena ia sendiri takut dihukum mati. Pada saat yang telah ditentukan, secara bersama-sama mereka berkumpul di bawah bangunan bertingkat tempat Datuk Simpek berada. Masing-masing orang oleh Perdana Menteri diberinya hidangan berupa sayur kangkung yang tidak dipotong-potong.

Ketika mereka sudah berada di hadapan Datuk Simpek, oleh Perdana Menteri disuruhlah seluruh rakyat menyantap sayur kangkung yang tidak dipotong-potong tersebut. Karena merasa kesulitan memakan kangkung yang tidak dipotong, beberapa orang banyak yang mendongakkan kepalanya ke atas untuk menyantap sayur kangkung, sehingga terlihatlah wajah Datuk Simpek, pemimpin mereka.

Alangkah terkejut rakyat melihat muka Datuk Simpek, sang pemimpin mereka. Wajahnya telah berubah. Mulutnya jadi panjang seperti jungur babi. Kupingnya membesar dan bergerak-gerak. Kemudian kedengaran suaranya ngos-ngosan macam suara seekor Babi.

“Itu datuk kita”, teriak orang banyak serentak. “Ya. Itu datuk kita, kenapa wajahnya seperti itu?”

Kemudian suasana menjadi gaduh. Datuk Simpek merasa malu dan takut kepada rakyatnya. Tiba-tiba ia terjun dari atas bangunan bertingkat dan dengan cepat berlari menuju ke hutan.

Rakyat yang penasaran ikut pula mengejar pemimpin mereka masuk ke dalam hutan. Keanehan pun terjadi, semua rakyat yang ikut mengejar Datuk Simpek berubah menyerupai Datuk Simpek. Mulutnya bertambah panjang. Kupingnya membesar dan lebar kemudian bergerak-gerak. Orang-orang yang ikut mengejar Datuk Simpek telah berubah menjadi babi hutan. Babi-babi hutan itu lalu menyeruduk ke rawa-rawa mencari cacing geleng yang memang banyak hidup disana. Sejak itulah, sekarang banyak dijumpai babi hutan berkeliaran di rawa-rawa.

Cerita ini diketik ulang dari buku “Kumpulan Cerita Rakyat” dengan judul “Kera & Lutung Berebut Kelekak”
Penyusun: Drs. Akhmad Elvian & Suhada, S.Pd
Editor : Willy Siswanto
Dituturkan oleh Suhaimi Sulaiman
Diterbitkan Oleh Dinas Pariwisata Kota Pangkalpinang

Related Articles

Back to top button