Cerita Rakyat/Pantun

Gong Pusaka Nenek

Dituturkan oleh H. Rozali HS

Sore itu langit sangat bersih. Burung-burung mulai terbang ke sarangnya. Hewan-hewan penghuni hutan telah masuk kepersembunyiannya. Tidak berapa lama kemudian di kaki langit sebelah Barat, matahari mulai tergelincir menuju peraduannya. Awan yang tadinya putih bersih, sudah tampak rona kemerahan menandakan magrib menjelang tiba.

Di pinggir hutan, berjalan dengan gontai seekor Pelanduk jantan, “Langit begitu cerah, bersih tak berawan, ingin sekali rasanya nduk begadang malam ini. Sebentar lagi malam akan tiba”, kata Pelanduk dalam hati, sambil membalikkan badannya menghadap ke arah Timur. “Rupanya malam ini bulan purnama. Bulan bulat penuh telah muncul. Seandainya nduk bisa kesana alangkah bahagianya. Tapi, apakah nduk akan mendapat teman disana? Atau, adakah tumbuhan yang bisa nduk makan?”, kata Pelanduk dalam hati. “Ah, mengapa nduk suka menghayalkan hal-hal yang tak mungkin? Bukankah nduk tidak punya sayap untuk terbang? Nduk samalah seperti seekor pungguk yang merindukan bulan”, kata Pelanduk sambil terus berjalan memasuki hutan. Tujuannya adalah untuk menemui kawan-kawannya, agar bisa begadang di malam bulan purnama.

Sudah begitu jauh Pelanduk melangkahkan kakinya memasuki lebatnya hutan. Sementara itu, belum satu pun pelanduk dan hewan lain berjumpa dengannya. Dalam perjalanannya Pelanduk melintas sebagian hutan yang sudah di tebas oleh pemiliknya lalu dibiarkan begitu saja, belum sempat dibakar atau di panduk. Pohon-pohon yang dipotong sudah mulai menunas kembali. Daunnya masih muda dan kelihatan segar.

Melihat daun-daun yang masih muda dan segar itu timbullah selera makan Pelanduk. Dilahapnya daun-daun muda tadi karena memang perutnya belum diisi sejak sore. Setelah kekenyangan, Pelanduk meneruskan perjalanannya, sementara bulan purnama semakin tinggi. Pelanduk terus saja berjalan, tetapi tak seekor pun pelanduk sahabatnya berpapasan dengannya. Sepanjang jalan, kadang-kadang hanya terdengar bunyi burung Hantu dan lolongan Serigala.

“Apakah seluruh pelanduk sahabat nduk sudah mati? atau sudah lari dari hutan ini atau mereka sedang berkumpul dimana?”, tanya Pelanduk pada diri sendiri. Memang biasanya setiap Pelanduk berjalan di hutan akan selalu berpapasan dengan sahabatnya, pelanduk-pelanduk yang lain. Tapi malam ini, tak satu pun yang bertemu dengannya. “Atau mungkin bangsa pelanduk hanya tinggal nduk sendiri? Kalau nduk tinggal satu-satunya di hutan ini, alangkah malangnya nasib manusia generasi mendatang. Mereka tidak bisa lagi melihat seperti apa pelanduk itu. Paling-paling mereka hanya bertemu kami didalam dongeng orangtua kepada cucu-cucunya. Sebenarnya yang menyebabkan bangsa kami punah adalah karena ulah manusia sendiri. Untuk menangkap kami, mereka menggunakan berbagai cara. Dengan jebakan yang mereka sebut lapun. Dengan menggunakan anjing yang mereka pelihara dan latih untuk memburu kami. Dengan senjata yang berbunyi keras yang mereka namakan senapan. Kemudian, daging kami yang katanya enak, lalu mereka jual dan mereka makan. Tak pernah terpikir oleh manusia untuk menangkar dan membudidayakan bangsa kami di satu tempat penangkaran agar bangsa kami tidak punah. Bangsa manusia hanyalah berpikir bagaimana mengisi perut mereka saja. Nah!, mengapa pula nduk sudah

berpikiran jelek dan ngelantur seperti ini? Bukankan ini namanya fitnah? Mungkin saja teman-teman nduk sekarang sedang berkumpul pada suatu tempat yang tak bisa nduk temui”, kata nduk dalam hatinya.

Setelah berjalan sekian jauh, nduk merasa sangat letih dan akhirnya berhenti tak jauh dari sebatang pohon yang rindang. Direbahkan tubuh kecilnya di atas rumput yang halus dan lembut. Matanya nanar menatap bulan yang sekali-sekali tersembul di antara awan dan rimbunnya dedaunan pohon. Sudah agak lama Pelanduk berbaring dengan posisi terlentang sambil menatap bulan. Karena jenuh, kemudian dia berbaring mengubah posisi tubuhnya menghadap ke pohon rindang di sampingnya. Sewaktu berbalik, matanya menangkap sekilas bayangan sesuatu yang menggelayut di atas sebuah dahan pohon yang sangat rindang. Dikucek-kucek matanya karena dia pikir dia telah salah melihat sesuatu. Rupanya setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata matanya tidak salah. Di atas sana, di dahan pohon rindang bergelayutan sesuatu benda sebesar buah Nangka. Pelanduk memperhatikan lagi dengan

seksama dan ternyata itu bukan buah Nangka, tapi adalah sarang lebah-lebah madu yang juga sedang beristirahat seperti dirinya. “Biarkan saja mereka disana, lebah-lebah madu tidak akan menganggu, kalau tidak diganggu”.

Kemudian Pelanduk melanjutkan istirahatnya. Ketika matanya hampir terpejam, sayup-sayup di kejauhan terdengar suara riuh. Pelanduk terkejut dan bangun dari pembaringannya, sambil memasang telinganya untuk memastikan suara apa gerangan. Suara tersebut semakin lama semakin jelas terdengar

berbunyi. Kerak keruk,kerak keruk, kerak keruk, kerak keruk, kerak keruk,kerak keruk.

Mendengar suara tadi, timbul rasa iseng sang Pelanduk. Dalam hatinya, dia bertanya, “Bukankah itu suara kera-kera? Sebaiknya akan ku kejar mereka”.

Pelanduk lalu berjalan ke arah kera-kera dengan wajah gembira dan sambil bersenandung. Sesampainya Pelanduk di tempat gerombolan kera-kera tadi, masih juga Pelanduk bernyanyi dan bersiul, karena heran Kera yang paling besar atau disebut parong di antara kera-kera itu mengawasi Pelanduk sambil mendekat.

“Tampaknya kamu sedang bergembira,nduk? Apa kamu sedang dapat teman baru? Kelihatannya gurak bener”, sapa Parong Kera.

Mendengar namanya dipanggil, Pelanduk berhenti lalu pura-pura bertanya, “Memanggil nduk, ya?”.

Agak kesal juga Parong Kera melihat Pelanduk pura-pura tidak tahu. Tapi disabarkan hatinya. Kemudian Parong Kera berkata, “lya lah. Memangnya ada Pelanduk lain bangsa kamu disini?” Melihat sikap Pelanduk yang pura-pura tidak tahu, membuat Parong Kera penasaran dan ingin tahu mengapa Pelanduk begitu gembira.

Mengetahui lawan bicaranya penasaran, Pelanduk mulai mengatur siasat dan berkata kepada Parong Kera,”Tentu saja nduk gembira.Tadi sewaktu berjalan, nduk baru saja menemukan sebuah gong pusaka nenek'”.

“Gong pusaka nenek? Bolehkah kami, bangsa kera melihat serta mendengar bunyinya? Kalau bisa, tolong antarkan kami ke tempat gong itu”, kata Parong Kera.

Dalam hatinya, Pelanduk tertawa karena tipu muslihatnya mulai berhasil, lalu Pelanduk berkata, “Wah, tidak bisa”.

Parong Kera semakin penasaran, “Memangnya kenapa bangsa kami tidak boleh melihatnya? Tentu bolehkan?”

“Karena keinginan kalian begitu besar maka nduk izinkan bangsa kalian mendengarkan bunyi gong pusaka nenek. Tapi sewaktu bangsa kalian sedang memainkan gong pusaka nenek nduk tidak bisa mendengarnya dari dekat”, kata Pelanduk kepada Parong Kera.

“Memangnya mengapa?”, kataΒ ParongΒ Kera.

“Jiwa nduk akan terganggu. Sukma nduk akan melayang bila mendengar suara gong pusaka nenek yang merdu itu”, jawab Pelanduk dengan mantap.

“Kalau begitu, nduk tunjukkan saja dimana tempat gong pusaka nenek itu berada dan nduk tidak perlu mengantar bangsa kami kesana. Nduk boleh meneruskan perjalanan sampai di tujuan”, kata Parong Kera dengan tegas.

“Kalau begitu, baiklah. Tempatnya tergantung di dahan sebatang pohon rindang di sebelah Barat sana, kalian harus berjalan lurus dari sini. Nduk akan menjauh supaya jiwa nduk tidak terganggu”, kata Pelanduk.

Setelah menyampaikan itu, lalu Pelanduk membalikkan badannya sambil berlari mengarah ke Timur. Sedangkan kelompok kera-kera dipimpin Parong Kera berlarian dengan bergelanjutan dari satu pohon ke pohon berikutnya menuju tempat gong pusaka nenek yang ditunjuk oleh Pelanduk.

Setelah sampai mereka berkata,”Oh, memang benar apa yang dikatakan oleh Pelanduk” dengan tidak sabar Parong Kera mengambil sepotong kayu pelawan lalu dipukulkan ke sarang lebah, sehingga lebah menjadi marah dan menyengat kelompok kera-kera. Bisa dibayangkan bagaimana marahnya para kera kepadaΒ Pelanduk.

Related Articles

Back to top button